Kisah Lengkap Pemuda Ashabul Kahfi
“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda
itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai Tuhan
kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami
petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (QS
al-Kahfi:10)
Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi
(Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya. Penulis kitab Fadha’ilul
Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan
suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya.
Dengan panjang lebar kitab Qishashul
Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Di kala Umar Ibnul Khattab menjabat sebagai
Amirul Mukminin, suatu hari datanglah kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi.
Mereka berkata kepada Khalifah: “Wahai Khalifah Umar, anda adalah pemegang
kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan
beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat menjawab pertanyaan kami
dengan benar, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar
dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat
memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan
seorang Nabi.”“bertanyalah tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala
untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak
tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu
bukan suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu
hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian
tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali
bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah
agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu
bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia langsung bangun dari tempat duduknya lalu segera memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia langsung bangun dari tempat duduknya lalu segera memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para
pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata:
“Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah
s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu
mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu
mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib
berkata: “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata
aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di
dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Para pendeta Yahudi itu saling
pandang di antara mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka
bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan
yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu adalah ikan hiu yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa mengelilingi tujuh samudera!”
“Kuburan itu adalah ikan hiu yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa mengelilingi tujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan
pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi
peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab:
“Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihis salam. Semut
itu berkata kepada kaumnya: “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman
kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan
mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan
pertanyaannya: “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang
berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara
makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima
makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh.
Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi
seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta
Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan
oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda.”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau
inginkan,” sahut Imam Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang
sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian
dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya
pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai
pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu
sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan
kubacakan kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku
sudah banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang
benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama
kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua
mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian
membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan
burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai saudara Yahudi,
Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah
itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga
dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus
(Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus
(Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).
Dahulunya Penduduk negeri itu
mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita
kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang
raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan
kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota
itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi
yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, coba
terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan
ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai
saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu
marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh.
Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan
lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas.
Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap
malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah
timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula
di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam
selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah
singgasana yang terbuat dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta.
Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di
situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80
buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa
tinggi lainnya. Sang Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di
atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang
bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba
terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali
menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9
buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana
bintang-bintang menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.
Selain mereka, raja juga mengangkat
6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan
menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan
apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu
selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang
tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri
lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan
nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a.
menjawab: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa
tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha,
Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di
sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja
selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam
serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah
tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh
berisi wewangian murni.
Seorang lagi membawa piala perak
penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung.
Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung
itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung
di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai
sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi
mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas
piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu
mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam
piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi
isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja,
sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas
singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah
diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut,
demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri
sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku
diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang
terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi
pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau
taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh
sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup
lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka
tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan
ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas
kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada
balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud
hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja
itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala.
Kemudian raja itu sendiri jatuh
terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di
sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha– memperhatikan keadaan sang
raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: “Kalau
Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia
tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu
semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap
hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara
bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima
orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum,
tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya:
“Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha,
“hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan
tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah
yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal
langit,” ujar Tamlikha menjelaskan.”
Aku lalu bertanya pada diriku
sendiri: ‘siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman
dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya
dari bawah?
Siapakah yang menjalankan matahari
dan bulan di langit itu?
Siapakah yang menghias langit itu
dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi ini:
‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?
Siapakah yang menahannya dengan
gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku
juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku
sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi
makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan
Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk
lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai Tamlikha
dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh
karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha,
“baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan
raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,”
sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus
beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang
sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu
berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari
kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara, kita sekarang
sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian
dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan
urusan kita serta memberikan jalan keluar.”
Mereka turun dari kudanya
masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak
berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang
penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: “Hai
penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian
inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti
kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan
kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang ini,” jawab
mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami
akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu
menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka,
penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki
mereka, ia berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada
dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak
mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera
kembali lagi kepada kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya
berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing
gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh
seekor anjing miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di
situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai
Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan
siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin
Abi Thalib memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan
kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.
Ketika enam orang pelarian itu
melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita
khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka
minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha
dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan
mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: ”Hai orang-orang,
mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain
Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh,
dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t.” Anjing
itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi.
Penggembala tadi mengajak mereka
naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah
itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: “Apakah nama gunung itu
dan apakah nama gua itu?!”
Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu
bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama
Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan
ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan
memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang
tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di
dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok
sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.
Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan
Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari
mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka
dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit
condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir
terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius
baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia
mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar.
Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam
orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati
gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur
berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu
benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata:
“Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih
berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam
gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba,
mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam
semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: “Katakanlah
kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak
berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar
mereka dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka
tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu
lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah
mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya
masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi kami lupa
beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”
Setelah mereka berada di luar gua,
tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang
ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa
lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan
bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi
yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli
makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata: “Hai
saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi,
hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju
penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati
tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan
yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat
bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan
Isa adalah Roh Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang
bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku
ini masih tidur!” Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia
meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca
Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di
sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang roti, apakah
nama kota kalian ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya
Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau yang kau katakan itu benar,”
kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah
makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan.
Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih
besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu
kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau
benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama
itu dibanding dengan uang baru!”
Imam Ali menerangkan: “Kekasihku
Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh
Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh
dan dua pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan
ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah
beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang
itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,”
sangkal Tamlikha. “Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan
buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena
orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu
berkata: “Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela
menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut
seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah
mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak
memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian
dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan
bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha:
“Bagaimana cerita tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.
“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata:
“Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut
seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku,
dan selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku
sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?” tanya
raja lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,”
perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang
lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh
orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan nama
orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai
rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha.
“Utuslah seorang menyertai aku!”
Raja kemudian memerintahkan beberapa
orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah
rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata
kepada orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk.
Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah
keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena
sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang
yang datang: “Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha
menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang
kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba
ulangi lagi!”
Tamlikha menyebut lagi namanya.
Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap:
“Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang
melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.”
Kemudian diteruskannya dengan suara
haru: “Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi.
Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan
mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah
orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja
segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua
tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha
diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan
dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan
teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
“Pada masa itu kota Aphesus diurus
oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya
lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya
masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali
melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih
berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang
bangsawan dan para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku
mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga
Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti
saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!”
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha
masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya
berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka
berkata: “Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan apa
dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian
sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia!
Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah
beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu
dengan kalian!”
Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai
Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang
menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas apa yang kalian inginkan?”
Tamlikha balik bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami
pun akan berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat
tangan ke atas, kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau
perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini,
cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah s.w.t. mengabulkan permohonan
mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka.
Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan
yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh
hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan
lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.
Pada saat itu dua orang bangsawan
tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang
bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua,
sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu
berkata: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah
tempat ibadah di pintu gua itu.”
Sedang bangsawan yang beragama
Nasrani berkata pula: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku
dirikan sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua orang bangsawan itu bertengkar,
dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan
oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka
Allah berfirman:
“Dan begitulah Kami menyerempakkan
mereka, supaya mereka mengetahui bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa
Saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka
dalam urusan mereka, maka mereka berkata, “Binalah di atas mereka satu
bangunan; Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka.” Berkata
orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, “Kami akan membina di atas
mereka sebuah masjid.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi
Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada
pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah
terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu,
apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam
Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya
Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun!
Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah
serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu
di kalangan ummat ini!”
Demikianlah hikayat tentang para
penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang
tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan
As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya
ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar